My Blog List

Tuesday, January 24, 2017

Kisah Mahasiswa Saat Ospek

Kisah Sa’il dan Nurma Saat Pertama Masuk Kuliah


  Penulis: Asrhy alvito
  Web     : www.muhhamsah.blogspot.com

 Akhirnya mendapat izin untuk menuliskan kisah krusial ini. Terjadi tahun 2013 silam, ketika seluruh mahasiswa baru angkatan 2013 sedang berkunjung ke sebuah desa dalam rangkaian OSPEK membawa bendera Fakultas.




Sebelumnya perkenalkan, nama aktor utamanya adalah Sa’il, seseorang yang jati dirinya sengaja dirahasiakan. Kisah ini menyangkut pengalaman pribadinya dengan Nurma, Ningsih, dan Macota yang waktu itu menjadi satu kelompok dan tinggal di sebuah rumah di sebuah desa di jeneponto, sulawesi selatan. Serangkaian kejadian di desa itu membuat Sa’il tak henti-hentinya menyesal hingga kini jika mengingatnya.

Dalam kegiatan itu, kami semua seluruh mahasiswa angkatan 2013 yang turut berpartisipasi dalam acara puncak rangkaian OSPEK. Sa’il, Nurma, Ningsih, dan Macota mendapat bagian untuk tinggal di sebuah rumah di pelosok desa yang diberi nama Wilayah 3 dari total 4 Wilayah yang disediakan. Sebelum datang ke desa itu, Sa’il sudah cukup terkenal di kalangan panitia OSPEK dan para pesertanya. Jadi, tak sulit bagi kami ketika itu untuk mengenali siapa Sa’il itu, bagaimana dekilnya beliau ketika itu.

Karena kami semua ketika itu akan tinggal di sana selama 4 hari 3 malam, jadi kami semua diwajibkan untuk membawa perlengkapan full bak kelompok pecinta alam, seperti sleeping b untuk peralatan tidur pribadi, perlengkapan mendaki dan bekerja, bekal dan cemilan, dan sebagainya. Di desa itu, dengan istilah kerennya “Berbakti Kepada Desa”, kami memang akan melakukan berbagai kegiatan untuk menunjukkan seberapa pedulinya kami kepada alam dan penduduk desa, dengan rangkaiannya antara lain: gotong royong membersihkan desa, memperbaiki sarana dan prasarana desa bersama warganya, dan kegiatan penting lainnya.

Di sana, kami diwajibkan untuk tinggal di rumah warga yang ada untuk menguji jiwa sosial kami. Kerenlah pokoknya. Singkat cerita, Sa’il and the gangs mendapat bagian untuk tinggal di sebuah rumah, sebut saja Rumah Pak Sembang. Keluarga Pak Sembang ini sangat ramah, yang keramahannya pun juga terkenal di antara warga desa itu.

Ketika sampai di desa itu, kami semua (dijemur) dikumpulkan di sebuah lapangan di bawah teriknya matahari untuk mendengarkan berbagai himbauan dari panitia pelaksana dan kepala desa. Nah, pada hari itu, hanya Sa’il yang tidak membawa bekal makan siang. Ia dituduh tidak menuruti himbauan panitia yang sebelumnya sudah sangat jelas diberitahukan kepada seluruh peserta OSPEK.

Setelah ditelisik, ternyata bekal makan siang Sa’il itu sudah dipersiapkannya dengan sangat baik, lengkap dengan air mineral dalam kemasan gelas yang dibelinya sebelum berangkat. Ternyata bekal makan siangnya itu jatuh dan terinjak-injak oleh kami (para bocah ingusan) yang ketika itu dengan semangatnya naik ke truk tronton sebagai transportasi utama kami mencapai tujuan. Akhirnya, seorang panitia yang (terpaksa) baik hati memasakkan mie instan untuknya.

Setelah perut Sa’il terisi dan diyakini tidak akan membuat repot panitia lagi, ia pun disuruh kembali ke barisannya. Setelah beberapa jam mendengar himbauan, kami semua pun diantar ke wilayah masing-masing. Tibalah Sa’il and the gangs (beranggotakan Sa’il, Macota, Nurma, dan Ningsih) di rumah Pak Sembang. Sa’il and the gangs terdiri dari 2 pasang manusia. Saat itu Sa’il dan Macota (yang sekarang merupakan teman baik) tidak begitu akrab sehingga Sa’il mau tak mau harus mengakrabkan diri dengannya.

Ketika itu Macota sangat pendiam, perasa, polos, dan memalukan (sekarang bocah yang satu ini tumbuh menjadi bocah durhaka kepada teman-teman yang memungutnya dari keterabaiannya sebagai bocah ingusan di awal perkuliahan). Jadi, Sa’il agak susah mengakrabkan diri dengannya. Sa’il pun berusaha mendekatkan diri ke Ningsih dan Nurma agar kehidupan mereka sebagai kelompok selama 3 malam 4 hari di rumah itu berjalan lancar.

Malam pertama, seluruh peserta OSPEK Wilayah 3 dikumpulkan di sebuah Masjid untuk berbagai himbauan agar kegiatan esok harinya berjalan dengan lancar. Sa’il and the gangs duduk berdekatan. Setelah beberapa puluh menit mendengarkan himbauan itu, Sa’il memberikan tanggapan yang sangat baik dan tepat sasaran sehingga membuat seluruh pihak yang ada di sana berdecak kagum, begitu juga dengan Nurma. Nurma pun memberikan komentar positif seakan mendukung penuh tanggapan Sa’il tersebut. Itulah tanda pertama bagaimana kisah cinta mereka terekam di Jeneponto.

Setelah itu, Sa’il and the gangs berjalan pulang beriringan, seakan tak ada yang mampu membuat kedekatan mereka retak. Sa’il dan Nurma berjalan di depan, sedangkan Ningsih dan Macota malu-malu mengikut dari belakang. Banyak sekali hal yang dibicarakan Sa’il kepada Nurma. Ada banyak hal pula yang membuat Nurma tertarik kepada Sa’il karena obrolan mereka sangat menarik dan nyambung satu dengan yang lain.

Namun, sebuah insiden membuat ‘awal cinta’ mereka hancur begitu saja. Malam itu ketika Sa’il and the gangs hendak tidur, Sa’il tidak membawa sleeping bag sebagaimana yang sudah dihimbau sebelum mereka berangkat. Sebaliknya Sa’il mengeluarkan sehelai selimut tebal kucel yang belum dicuci selama 3 bulan dari tasnya. Sontak Nurma teriak, “Hey! Please, jangan keluarin itu. Bau banget! Masukin lagi!”

Iya, Nurma memang orangnya cerewet, tegas, judes sekaligus sadis. Sa’il dengan santainya menjawab, “Habis mau gimana? Kalo ngga dipake ntar aku kedinginan. Kalo aku kedinginan ntar aku cari kehangatan. Kalo aku cari kehangatan berarti aku harus meluk kamu.”

“Hih, ogah! Apapun yang terjadi jangan keluarkan selimut itu dan jangan peluk gue!” Nurma masih sadis meresponnya.

Untuk mengatasi ketakutannya, Nurma berjalan ke kamar Pak Sembang dan sang istri, mengetuk pintunya sembari memanggil dan membangunkan Ibu Sattunia untuk meminta selimut. Untung saja Ibu Sattunia orangnya sangat ramah, sehingga dengan ikhlas memberikan selimutnya kepada Nurma dengan ikhlas tanpa batas.

Setelah menerima selimut dari Bu Sattunia, Nurma memberikannya dengan gaya judes khas-nya kepada Sa’il. “Nih, pake selimut ini!” Saat itu jugalah Sa’il jatuh cinta kepada Nurma, yang menurutnya sadis tapi pengertian, judes tapi tetap terlihat cantik dan keibuan.

Dan perlu diketahui, Sa’il and the gangs tidur berderetan di ruang tengah yang tidak lebar/luas, beralaskan sebuah permadani yang sangat hangat dan nyaman. Berurutan, di posisi paling pojok dekat dinding ada Ningsih, di sebelahnya Nurma, di sebelah Nurma ada Sa’il, dan Macota yang paling cepat tidur dengan nyenyaknya berada di posisi paling pojok dekat pintu rumah.

Sa’il dan Nurma tidur bersebelahan, dan malam itu cuma mereka berdua yang belum terlelap. Saat itu mereka menghabiskan beberapa jam menjelang tengah malam untuk mengobrol. Saat itu pulalah Nurma kembali tertarik kepada Sa’il, dan saat itu juga Sa’il semakin tertarik kepada Nurma. Ternyata, Nurma malu menunjukkan ketertarikannya kepada Sa’il sehingga ia mengatakan bahwa dirinya sudah memiliki kekasih. Benar, Nurma memang sudah punya pacar.

Hal tersebut membuat Sa’il sempat patah hati, tetapi tidak benar-benar patah hati karena pacar Nurma berada di luar kota, sehingga Nurma dan sang pacar harus LDR-an. Nurma berniat untuk memanas-manasi Sa’il agar bisa menyembunyikan ketertarikannya pada beliau. Nurma pun menunjukkan foto pacarnya kepada Sa’il melalui ponselnya.

“Wanjirrr, jelek banget! Hitam, jelek, jerawatan, dekil, hih! Kok bisa kamu mau sama dia? Padahal kamu cantik banget!” Sa’il secara spontan mengucapkan kalimat mematikan itu. Bukan bermaksud untuk menghina, tapi apa yang dikatakan Sa’il kala itu memang benar adanya.

“Tapi dia pemain musik Jazz lho.”

“Iya tapi ngga jelek gitu juga. Kamu bisa dapat cowok ganteng, pintar, putih, dan bisa main Jazz.”

“Biarin ah!” Nurma kemudian menghubungi pacarnya itu. “Halo, sayang? Kok belum tidur? Oh.. Ini aku mau tidur, besok pagi harus bangun cepat soalnya. Kamu baik-baik ya di sana.”

Di hadapan Nurma, mata Sa’il dengan juteknya memperhatikan setiap getaran bibir Nurma yang berucap ketika bertelpon dengan kekasihnya yang jelek itu. Kemudian Sa’il berkata, “Heh, udah tidur sana. Berisik malam-malam telponan!”



“Hih, biarin!” kemudian Nurma melanjutkan obrolannya di telepon, “Aku kabarin kamu secepatnya ya. Night, muahhhh, love you.”

“Seneng banget aku denger suaranya.” pamer Nurma masih tetap memanas-manasi Sa’il.

“Orang jelek kaya dia punya suara sebagus apa sih sampe kamu seneng denger suaranya?” tanya Sa’il dengan polosnya tanpa dibuat-buat.

“Bukan suara dari segi vokal yang aku maksud. Denger suaranya setelah hari ini lama banget ngga denger, aku seneng banget. Sirik aja sih. Pasti jomblo!”

“Makanya aku ngedeketin kamu hehehehe………” jawab Sa’il singkat sambil menutup mata dan menggeserkan posisi tubuhnya lebih mendekat ke Nurma.

Nurma tidak berusaha menjauh, tapi juga tak berusaha mendekatkan diri. Nurma menutup seluruh tubuhnya dengan selimut kemudian memejamkan mata. Tapi sebelumnya, ia masih sempat memperhatikan wajah Sa’il yang sudah lebih dulu memejamkan mata.

Keesokan harinya, Sa’il yang sebelumnya sudah populer di kalangan panitia dan peserta OSPEK, mendapat perhatian lebih dari seluruh pihak yang ada di Wilayah 3 ketika sedang bergotong royong mengangkat pasir dan batu secara estafet menggunakan ember. Apapun yang diperbuatnya selalu mendapat dukungan, sorak-sorai, dan elu-elu dari sesama peserta dan seluruh panitia. Banyak yang senang berada di dekatnya, terutama panitia perempuan yang tertarik dengan obrolan Sa’il yang selalu nyambung.

Di suatu momen, Sa’il yang ketika itu beristirahat duduk di sebuah emperan warung, didekati oleh seorang panitia perempuan dan memulai obrolan dengannya. Sa’il dan panitia yang bernama Yeye itu terlihat akrab dengan cepat, padahal baru saja saling mengenal. Sesekali terlihat canda-tawa yang diperagakan mereka ketika terlibat dalam obrolan menarik tersebut. Semua orang yang melihat aktivitas mengobrol mereka tak sulit mengetahui bahwa Berti tertarik kepada Sa’il secara personal, dari segi asmara.

Nurma yang melihat dari jauh tampak cemburu, atau setidaknya ada mimik kesal/tak suka yang tergambar di wajahnya ketika menyaksikan mereka berdua. Mulai saat itu, Nurma bersikap semakin judes kepada Sa’il. Mereka yang sejauh itu sering mengobrol bertukar pikiran tentang banyak hal, tiba-tiba saja terlihat tidak akrab, atau istilah asmaranya ‘marahan’. Tentu saja Sa’il penasaran apa penyebabnya.  Sa’il berulang kali memohon kepada Nurma agar memberitahu apa yang menjadi penyebab kenapa Nurma marah kepada dirinya.

Di malam hari, di posisi tidur yang sama, Nurma selalu membelakangi Sa’il. Dan selalu juga, Macota yang paling cepat tidur, kemudian Ningsih, Seperti biasanya juga pada malam itu, hanya mereka berdua yang belum tidur. Sa’il asik memperhatikan Nurma dari belakang. Setelah grasak-grusuk beberapa kali karena tidak bisa tidur, Nurma perlahan membalikkan badannya dan berusaha mengintip dari balik selimutnya, apakah Sa’il sudah tidur atau belum.

Sa’il mengetahui hal itu dan sambil tertawa berkata, “Apa lihat-lihat?”

Nurma (masih) dengan judesnya menjawab, “Hih, apaan!?” kemudian membalikkan badannya kembali.

“Aku kangen ngobrol bareng kamu lagi sebelum tidur. Ibarat anak kecil, ngobrol sama kamu itu nina-bobo untukku.”

Nurma tak menjawab. Ia hanya diam di balik selimutnya tapi memikirkan dalam-dalam kalimat itu. Sa’il tak mengucapkan apapun lagi setelahnya. Setelah beberapa lama Nurma bertanya-tanya dalam hati kenapa tak ada lagi ucapan yang keluar dari mulut Sa’il yang selama itu sering mengganggunya, Nurma pun kembali berbalik dan kembali mengintip Sa’il. JONK!!! Ternyata Sa’il sudah tertidur, dengan pulas.

Hari terakhir aktivitas OSPEK di desa itu sebelum pulang keesokan harinya, semua peserta yang tinggal di 4 Wilayah yang tersedia, termasuk aku yang merupakan peserta di Wilayah 4, bergabung di sebuah lapangan tempat kami semula berkumpul sebelum mengikuti aktivitas terakhir di desa itu. Aktivitas terakhirnya adalah menyusuri bebukitan yang mengelilingi desa tersebut.

Dalam satu kelompok terdapat 15 orang, di mana 15 orang tersebut merupakan perpaduan dari peserta 4 Wilayah yang ada. Dan kebetulan sekali, Sa’il dan Nurma berada di antara 15 orang tersebut. Sedangkan Ningsih dan Macota ngga tahu bertengger ntah di mana. Nah, saat itu juga, Nurma dan Sa’il salah tingkah di antara peserta yang lain. Hanya mereka berdua yang terlihat tak berkomunikasi, dan terlihat sekali ada apa-apa di antara mereka.

Akhirya, perjalanan menyusuri bukit dimulai. Tibalah giliran kelompok Sa’il dan Nurma untuk menyusurinya. Nurma berada di posisi paling belakang dan Sa’il berada di posisi paling depan. Tetapi saat berada di tengah perjalanan, Sa’il sengaja keluar dari posisinya dan berjalan ke arah belakang dan berdiri tepat di belakang Nurma. Sa’il dengan lembutnya berbisik dari belakang Nurma, “Aku sengaja ke belakang kamu buat mastiin kalo kamu baik-baik aja dan aman di sepanjang perjalanan.”

Nurma dengan sadis berkata, “Heh! Bukan elo yang nentuin keamanan gue! Lo kira gue selemah itu, ya!? Sombong banget lo!”

“Bukannya sombong. Aku diciptakan untuk melindungi cewek. Kebetulan aja kalo ternyata cewek itu kamu.”

Nurma tak merespon apa-apa lagi. Tentu saja ia speechless mendengar kata-kata itu. Di sepanjang perjalanan Nurma hanya terdiam sambil menyusuri jalanan terjal, berlumpur dan licin karena malam-malam sebelumnya bukit itu diguyur hujan lebat. Semua kelompok terutama kelompok Sa’il dan Nurma dengan susah payah mendaki bukit tersebut.

Hampir semua peserta setidaknya pernah tiga kali terpeleset. Di satu jalan sempit, terjal, berlumpur yang parah dan tentu saja licin, Sa’il mendaki jalan itu dengan susah payah namun akhirnya berhasil mencapai puncaknya tanpa bantuan. Ia sengaja berhenti dan menunggu Nurma berjalan mendekat. Nurma dengan susah payah melewati genangan lumpur tebal dan sangat licin sebelum sampai ke posisi jalanan terjal yang baru saja didaki Sa’il.

Karena posisi mereka berada di paling belakang barisan, akhirnya mereka berdua sudah cukup jauh tertinggal dari yang lain.  Sa’il dengan setianya menunggu Nurma sampai ke tempatnya berada. Setelah Nurma sampai dan tinggal mendaki jalan terjal nan licin itu, Sa’il dengan tulusnya mengulurkan tangan hendak memberikan bantuan. Nurma, tetap saja, dengan judesnya menolak uluran tangan itu.

“Apaan sih!? Udah gue bilang gue ngga lemah yang lo pikir!” Nurma mengucapkan itu sambil menyingkirkan uluran tangan Sa’il dari hadapannya.

Setelah berkata demikian, Nurma berusaha menaiki tanjakan licin itu. Namun, ia kemudian terpeleset dan terpelanting. Wajahnya yang cantik itu hampir saja bertabrakan dengan lumpur dan bebatuan yang ada di sana. Posisi Nurma terpelanting jatuh itu benar-benar sangat lucu, dan Sa’il berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Sekali lagi Sa’il mengulurkan tangan untuk memberi bantuan kepada Nurma.

“Pegang tanganku. Ini bukan bentuk kesombongan, tapi bentuk kepedulian untuk cewek terbaik yang sekarang ini eksis di depanku. Setidaknya anggap aja kaya gitu.”

Tanpa ragu lagi Nurma meraih tangan itu dan menggenggamnya dengan kuat. Hidupnya seakan bergantung pada genggaman itu. Sa’il pun dengan susah-payah mengangkat Nurma yang bertubuh lumayan gemuk itu ke posisinya berdiri. Nurma pun terselamatkan.

Akhirnya Sa’il dan Nurma berhasil menyusul peserta lain yang tergabung di kelompok mereka. Hingga sampai ke bagian bukit yang dituju, tak ada lagi kata yang terucap di antara mereka. Tetapi mereka berdua jelas memikirkan rangkaian kejadian yang terjadi yang melibatkan mereka berdua secara langsung.


Hingga malam hari yang dingin dan lembab, akhirnya kami semua selesai menyusuri bukit itu dan akhirnya sampai ke lapangan tempat pertama kami berkumpul saat tiba di desa itu. Kami semua duduk dibalut kehangatan mengelilingi api unggun yang besar. Nurma dan Sa’il duduk berjauhan tetapi dari jauh saling mencuri pandang, dan malu-malu karena beberapa kali mereka ketahuan saling mencuri pandang.

No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system