Kisah Sa’il dan Nurma Saat
Pertama Masuk Kuliah
Penulis: Asrhy alvito
Web :
www.muhhamsah.blogspot.com
Akhirnya mendapat izin untuk menuliskan kisah krusial ini. Terjadi tahun 2013 silam, ketika seluruh mahasiswa baru angkatan 2013 sedang berkunjung ke sebuah desa dalam rangkaian OSPEK membawa bendera Fakultas.
Sebelumnya perkenalkan, nama aktor
utamanya adalah Sa’il, seseorang yang jati dirinya sengaja dirahasiakan. Kisah
ini menyangkut pengalaman pribadinya dengan Nurma, Ningsih, dan Macota yang
waktu itu menjadi satu kelompok dan tinggal di sebuah rumah di sebuah
desa di jeneponto, sulawesi selatan. Serangkaian kejadian di desa itu
membuat Sa’il tak henti-hentinya menyesal hingga kini jika mengingatnya.
Dalam kegiatan itu, kami semua
seluruh mahasiswa angkatan 2013 yang turut berpartisipasi dalam acara puncak
rangkaian OSPEK. Sa’il, Nurma, Ningsih, dan Macota mendapat bagian untuk
tinggal di sebuah rumah di pelosok desa yang diberi nama Wilayah 3 dari total 4
Wilayah yang disediakan. Sebelum datang ke desa itu, Sa’il sudah cukup terkenal
di kalangan panitia OSPEK dan para pesertanya. Jadi, tak sulit bagi kami ketika
itu untuk mengenali siapa Sa’il itu, bagaimana dekilnya beliau ketika itu.
Karena kami semua ketika itu akan
tinggal di sana selama 4 hari 3 malam, jadi kami semua diwajibkan untuk membawa
perlengkapan full bak kelompok pecinta alam, seperti sleeping b untuk peralatan
tidur pribadi, perlengkapan mendaki dan bekerja, bekal dan cemilan, dan
sebagainya. Di desa itu, dengan istilah kerennya “Berbakti Kepada Desa”, kami
memang akan melakukan berbagai kegiatan untuk menunjukkan seberapa pedulinya
kami kepada alam dan penduduk desa, dengan rangkaiannya antara lain: gotong
royong membersihkan desa, memperbaiki sarana dan prasarana desa bersama
warganya, dan kegiatan penting lainnya.
Di sana, kami diwajibkan untuk
tinggal di rumah warga yang ada untuk menguji jiwa sosial kami. Kerenlah
pokoknya. Singkat cerita, Sa’il and the gangs mendapat bagian untuk
tinggal di sebuah rumah, sebut saja Rumah Pak Sembang. Keluarga Pak Sembang ini
sangat ramah, yang keramahannya pun juga terkenal di antara warga desa itu.
Ketika sampai di desa itu, kami
semua (dijemur) dikumpulkan di sebuah lapangan di bawah teriknya matahari untuk
mendengarkan berbagai himbauan dari panitia pelaksana dan kepala desa. Nah,
pada hari itu, hanya Sa’il yang tidak membawa bekal makan siang. Ia dituduh
tidak menuruti himbauan panitia yang sebelumnya sudah sangat jelas
diberitahukan kepada seluruh peserta OSPEK.
Setelah ditelisik, ternyata bekal
makan siang Sa’il itu sudah dipersiapkannya dengan sangat baik, lengkap dengan
air mineral dalam kemasan gelas yang dibelinya sebelum berangkat. Ternyata
bekal makan siangnya itu jatuh dan terinjak-injak oleh kami (para bocah
ingusan) yang ketika itu dengan semangatnya naik ke truk tronton sebagai
transportasi utama kami mencapai tujuan. Akhirnya, seorang panitia yang
(terpaksa) baik hati memasakkan mie instan untuknya.
Setelah perut Sa’il terisi dan
diyakini tidak akan membuat repot panitia lagi, ia pun disuruh kembali ke
barisannya. Setelah beberapa jam mendengar himbauan, kami semua pun diantar ke
wilayah masing-masing. Tibalah Sa’il and the gangs (beranggotakan Sa’il,
Macota, Nurma, dan Ningsih) di rumah Pak Sembang. Sa’il and the gangs terdiri
dari 2 pasang manusia. Saat itu Sa’il dan Macota (yang sekarang merupakan teman
baik) tidak begitu akrab sehingga Sa’il mau tak mau harus mengakrabkan diri
dengannya.
Ketika itu Macota sangat pendiam,
perasa, polos, dan memalukan (sekarang bocah yang satu ini tumbuh menjadi bocah
durhaka kepada teman-teman yang memungutnya dari keterabaiannya sebagai bocah
ingusan di awal perkuliahan). Jadi, Sa’il agak susah mengakrabkan diri
dengannya. Sa’il pun berusaha mendekatkan diri ke Ningsih dan Nurma agar
kehidupan mereka sebagai kelompok selama 3 malam 4 hari di rumah itu berjalan
lancar.
Malam pertama, seluruh peserta OSPEK
Wilayah 3 dikumpulkan di sebuah Masjid untuk berbagai himbauan agar kegiatan
esok harinya berjalan dengan lancar. Sa’il and the gangs duduk berdekatan.
Setelah beberapa puluh menit mendengarkan himbauan itu, Sa’il memberikan
tanggapan yang sangat baik dan tepat sasaran sehingga membuat seluruh pihak
yang ada di sana berdecak kagum, begitu juga dengan Nurma. Nurma pun memberikan
komentar positif seakan mendukung penuh tanggapan Sa’il tersebut. Itulah tanda
pertama bagaimana kisah cinta mereka terekam di Jeneponto.
Setelah itu, Sa’il and the gangs
berjalan pulang beriringan, seakan tak ada yang mampu membuat kedekatan mereka
retak. Sa’il dan Nurma berjalan di depan, sedangkan Ningsih dan Macota
malu-malu mengikut dari belakang. Banyak sekali hal yang dibicarakan Sa’il kepada
Nurma. Ada banyak hal pula yang membuat Nurma tertarik kepada Sa’il karena
obrolan mereka sangat menarik dan nyambung satu dengan yang lain.
Namun, sebuah insiden membuat ‘awal
cinta’ mereka hancur begitu saja. Malam itu ketika Sa’il and the gangs hendak
tidur, Sa’il tidak membawa sleeping bag sebagaimana yang sudah dihimbau sebelum
mereka berangkat. Sebaliknya Sa’il mengeluarkan sehelai selimut tebal kucel
yang belum dicuci selama 3 bulan dari tasnya. Sontak Nurma teriak,
“Hey! Please, jangan keluarin itu. Bau banget! Masukin lagi!”
Iya, Nurma memang orangnya cerewet,
tegas, judes sekaligus sadis. Sa’il dengan santainya menjawab, “Habis mau
gimana? Kalo ngga dipake ntar aku kedinginan. Kalo aku kedinginan ntar aku cari
kehangatan. Kalo aku cari kehangatan berarti aku harus meluk kamu.”
“Hih, ogah! Apapun yang terjadi
jangan keluarkan selimut itu dan jangan peluk gue!” Nurma masih sadis
meresponnya.
Untuk mengatasi ketakutannya, Nurma
berjalan ke kamar Pak Sembang dan sang istri, mengetuk pintunya sembari memanggil
dan membangunkan Ibu Sattunia untuk meminta selimut. Untung saja Ibu Sattunia
orangnya sangat ramah, sehingga dengan ikhlas memberikan selimutnya kepada
Nurma dengan ikhlas tanpa batas.
Setelah menerima selimut dari Bu
Sattunia, Nurma memberikannya dengan gaya judes khas-nya kepada Sa’il. “Nih,
pake selimut ini!” Saat itu jugalah Sa’il jatuh cinta kepada Nurma, yang
menurutnya sadis tapi pengertian, judes tapi tetap terlihat cantik dan keibuan.
Dan perlu diketahui, Sa’il and the
gangs tidur berderetan di ruang tengah yang tidak lebar/luas, beralaskan sebuah
permadani yang sangat hangat dan nyaman. Berurutan, di posisi paling pojok
dekat dinding ada Ningsih, di sebelahnya Nurma, di sebelah Nurma ada Sa’il, dan
Macota yang paling cepat tidur dengan nyenyaknya berada di posisi paling pojok
dekat pintu rumah.
Sa’il dan Nurma tidur bersebelahan,
dan malam itu cuma mereka berdua yang belum terlelap. Saat itu mereka
menghabiskan beberapa jam menjelang tengah malam untuk mengobrol. Saat itu
pulalah Nurma kembali tertarik kepada Sa’il, dan saat itu juga Sa’il semakin
tertarik kepada Nurma. Ternyata, Nurma malu menunjukkan ketertarikannya kepada
Sa’il sehingga ia mengatakan bahwa dirinya sudah memiliki kekasih. Benar, Nurma
memang sudah punya pacar.
Hal tersebut membuat Sa’il sempat
patah hati, tetapi tidak benar-benar patah hati karena pacar Nurma berada di
luar kota, sehingga Nurma dan sang pacar harus LDR-an. Nurma berniat untuk
memanas-manasi Sa’il agar bisa menyembunyikan ketertarikannya pada beliau.
Nurma pun menunjukkan foto pacarnya kepada Sa’il melalui ponselnya.
“Wanjirrr, jelek banget! Hitam,
jelek, jerawatan, dekil, hih! Kok bisa kamu mau sama dia? Padahal kamu cantik
banget!” Sa’il secara spontan mengucapkan kalimat mematikan itu. Bukan bermaksud
untuk menghina, tapi apa yang dikatakan Sa’il kala itu memang benar adanya.
“Tapi dia pemain musik Jazz lho.”
“Iya tapi ngga jelek gitu juga. Kamu
bisa dapat cowok ganteng, pintar, putih, dan bisa main Jazz.”
“Biarin ah!” Nurma kemudian
menghubungi pacarnya itu. “Halo, sayang? Kok belum tidur? Oh.. Ini aku mau
tidur, besok pagi harus bangun cepat soalnya. Kamu baik-baik ya di sana.”
Di hadapan Nurma, mata Sa’il dengan
juteknya memperhatikan setiap getaran bibir Nurma yang berucap ketika bertelpon
dengan kekasihnya yang jelek itu. Kemudian Sa’il berkata, “Heh, udah tidur
sana. Berisik malam-malam telponan!”
“Hih, biarin!” kemudian Nurma
melanjutkan obrolannya di telepon, “Aku kabarin kamu secepatnya ya. Night,
muahhhh, love you.”
“Seneng banget aku denger suaranya.”
pamer Nurma masih tetap memanas-manasi Sa’il.
“Orang jelek kaya dia punya suara
sebagus apa sih sampe kamu seneng denger suaranya?” tanya Sa’il dengan polosnya
tanpa dibuat-buat.
“Bukan suara dari segi vokal yang
aku maksud. Denger suaranya setelah hari ini lama banget ngga denger, aku
seneng banget. Sirik aja sih. Pasti jomblo!”
“Makanya aku ngedeketin kamu hehehehe………”
jawab Sa’il singkat sambil menutup mata dan menggeserkan posisi tubuhnya lebih
mendekat ke Nurma.
Nurma tidak berusaha menjauh, tapi
juga tak berusaha mendekatkan diri. Nurma menutup seluruh tubuhnya dengan
selimut kemudian memejamkan mata. Tapi sebelumnya, ia masih sempat
memperhatikan wajah Sa’il yang sudah lebih dulu memejamkan mata.
Keesokan harinya, Sa’il yang
sebelumnya sudah populer di kalangan panitia dan peserta OSPEK, mendapat
perhatian lebih dari seluruh pihak yang ada di Wilayah 3 ketika sedang
bergotong royong mengangkat pasir dan batu secara estafet menggunakan ember.
Apapun yang diperbuatnya selalu mendapat dukungan, sorak-sorai, dan elu-elu
dari sesama peserta dan seluruh panitia. Banyak yang senang berada di dekatnya,
terutama panitia perempuan yang tertarik dengan obrolan Sa’il yang selalu
nyambung.
Di suatu momen, Sa’il yang ketika
itu beristirahat duduk di sebuah emperan warung, didekati oleh seorang panitia
perempuan dan memulai obrolan dengannya. Sa’il dan panitia yang bernama Yeye
itu terlihat akrab dengan cepat, padahal baru saja saling mengenal. Sesekali
terlihat canda-tawa yang diperagakan mereka ketika terlibat dalam obrolan
menarik tersebut. Semua orang yang melihat aktivitas mengobrol mereka tak sulit
mengetahui bahwa Berti tertarik kepada Sa’il secara personal, dari segi asmara.
Nurma yang melihat dari jauh tampak
cemburu, atau setidaknya ada mimik kesal/tak suka yang tergambar di wajahnya
ketika menyaksikan mereka berdua. Mulai saat itu, Nurma bersikap semakin judes
kepada Sa’il. Mereka yang sejauh itu sering mengobrol bertukar pikiran tentang
banyak hal, tiba-tiba saja terlihat tidak akrab, atau istilah asmaranya
‘marahan’. Tentu saja Sa’il penasaran apa penyebabnya. Sa’il berulang
kali memohon kepada Nurma agar memberitahu apa yang menjadi penyebab kenapa
Nurma marah kepada dirinya.
Di malam hari, di posisi tidur yang
sama, Nurma selalu membelakangi Sa’il. Dan selalu juga, Macota yang paling
cepat tidur, kemudian Ningsih, Seperti biasanya juga pada malam itu, hanya mereka
berdua yang belum tidur. Sa’il asik memperhatikan Nurma dari belakang. Setelah
grasak-grusuk beberapa kali karena tidak bisa tidur, Nurma perlahan membalikkan
badannya dan berusaha mengintip dari balik selimutnya, apakah Sa’il sudah tidur
atau belum.
Sa’il mengetahui hal itu dan sambil
tertawa berkata, “Apa lihat-lihat?”
Nurma (masih) dengan judesnya
menjawab, “Hih, apaan!?” kemudian membalikkan badannya kembali.
“Aku kangen ngobrol bareng kamu lagi
sebelum tidur. Ibarat anak kecil, ngobrol sama kamu itu nina-bobo untukku.”
Nurma tak menjawab. Ia hanya diam di
balik selimutnya tapi memikirkan dalam-dalam kalimat itu. Sa’il tak mengucapkan
apapun lagi setelahnya. Setelah beberapa lama Nurma bertanya-tanya dalam hati
kenapa tak ada lagi ucapan yang keluar dari mulut Sa’il yang selama itu sering
mengganggunya, Nurma pun kembali berbalik dan kembali mengintip Sa’il. JONK!!!
Ternyata Sa’il sudah tertidur, dengan pulas.
Hari terakhir aktivitas OSPEK di
desa itu sebelum pulang keesokan harinya, semua peserta yang tinggal di 4
Wilayah yang tersedia, termasuk aku yang merupakan peserta di Wilayah 4,
bergabung di sebuah lapangan tempat kami semula berkumpul sebelum mengikuti aktivitas
terakhir di desa itu. Aktivitas terakhirnya adalah menyusuri bebukitan yang
mengelilingi desa tersebut.
Dalam satu kelompok terdapat 15
orang, di mana 15 orang tersebut merupakan perpaduan dari peserta 4 Wilayah yang
ada. Dan kebetulan sekali, Sa’il dan Nurma berada di antara 15 orang tersebut.
Sedangkan Ningsih dan Macota ngga tahu bertengger ntah di mana. Nah, saat itu
juga, Nurma dan Sa’il salah tingkah di antara peserta yang lain. Hanya mereka
berdua yang terlihat tak berkomunikasi, dan terlihat sekali ada apa-apa di
antara mereka.
Akhirya, perjalanan menyusuri bukit
dimulai. Tibalah giliran kelompok Sa’il dan Nurma untuk menyusurinya. Nurma
berada di posisi paling belakang dan Sa’il berada di posisi paling depan.
Tetapi saat berada di tengah perjalanan, Sa’il sengaja keluar dari posisinya
dan berjalan ke arah belakang dan berdiri tepat di belakang Nurma. Sa’il dengan
lembutnya berbisik dari belakang Nurma, “Aku sengaja ke belakang kamu buat
mastiin kalo kamu baik-baik aja dan aman di sepanjang perjalanan.”
Nurma dengan sadis berkata, “Heh!
Bukan elo yang nentuin keamanan gue! Lo kira gue selemah itu, ya!? Sombong
banget lo!”
“Bukannya sombong. Aku diciptakan
untuk melindungi cewek. Kebetulan aja kalo ternyata cewek itu kamu.”
Nurma tak merespon apa-apa lagi.
Tentu saja ia speechless mendengar kata-kata itu. Di sepanjang perjalanan Nurma
hanya terdiam sambil menyusuri jalanan terjal, berlumpur dan licin karena
malam-malam sebelumnya bukit itu diguyur hujan lebat. Semua kelompok terutama
kelompok Sa’il dan Nurma dengan susah payah mendaki bukit tersebut.
Hampir semua peserta setidaknya
pernah tiga kali terpeleset. Di satu jalan sempit, terjal, berlumpur yang parah
dan tentu saja licin, Sa’il mendaki jalan itu dengan susah payah namun akhirnya
berhasil mencapai puncaknya tanpa bantuan. Ia sengaja berhenti dan menunggu
Nurma berjalan mendekat. Nurma dengan susah payah melewati genangan lumpur
tebal dan sangat licin sebelum sampai ke posisi jalanan terjal yang baru saja
didaki Sa’il.
Karena posisi mereka berada di
paling belakang barisan, akhirnya mereka berdua sudah cukup jauh tertinggal dari
yang lain. Sa’il dengan setianya menunggu Nurma sampai ke tempatnya
berada. Setelah Nurma sampai dan tinggal mendaki jalan terjal nan licin itu, Sa’il
dengan tulusnya mengulurkan tangan hendak memberikan bantuan. Nurma, tetap
saja, dengan judesnya menolak uluran tangan itu.
“Apaan sih!? Udah gue bilang gue
ngga lemah yang lo pikir!” Nurma mengucapkan itu sambil menyingkirkan uluran
tangan Sa’il dari hadapannya.
Setelah berkata demikian, Nurma
berusaha menaiki tanjakan licin itu. Namun, ia kemudian terpeleset dan
terpelanting. Wajahnya yang cantik itu hampir saja bertabrakan dengan lumpur
dan bebatuan yang ada di sana. Posisi Nurma terpelanting jatuh itu benar-benar
sangat lucu, dan Sa’il berusaha mati-matian untuk menahan tawanya. Sekali lagi
Sa’il mengulurkan tangan untuk memberi bantuan kepada Nurma.
“Pegang tanganku. Ini bukan bentuk
kesombongan, tapi bentuk kepedulian untuk cewek terbaik yang sekarang ini eksis
di depanku. Setidaknya anggap aja kaya gitu.”
Tanpa ragu lagi Nurma meraih tangan
itu dan menggenggamnya dengan kuat. Hidupnya seakan bergantung pada genggaman
itu. Sa’il pun dengan susah-payah mengangkat Nurma yang bertubuh lumayan gemuk
itu ke posisinya berdiri. Nurma pun terselamatkan.
Akhirnya Sa’il dan Nurma berhasil
menyusul peserta lain yang tergabung di kelompok mereka. Hingga sampai ke
bagian bukit yang dituju, tak ada lagi kata yang terucap di antara mereka.
Tetapi mereka berdua jelas memikirkan rangkaian kejadian yang terjadi yang
melibatkan mereka berdua secara langsung.
Hingga malam hari yang dingin dan
lembab, akhirnya kami semua selesai menyusuri bukit itu dan akhirnya sampai ke
lapangan tempat pertama kami berkumpul saat tiba di desa itu. Kami semua duduk
dibalut kehangatan mengelilingi api unggun yang besar. Nurma dan Sa’il
duduk berjauhan tetapi dari jauh saling mencuri pandang, dan malu-malu karena
beberapa kali mereka ketahuan saling mencuri pandang.
No comments:
Post a Comment