Cerpen Cinta Sedih
Penulis : Muh Hamsah
Web : www.muhhamsah.blogspot.com
Saat Terakhir Bersamamu
Gadis ini mencengkram erat
kepalanya. Di tengah hujan, dia masih harus mengalami perdebatan sengit antara
hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa. Menangis di tengah hujan yang
sangat deras memang efektif karena tetesan air matapun takkan terlihat.
Dinda berjalan di koridor kelas
dengan lesu. Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar sedang kacau. Apalagi
kalau bukan karna cinta. Tepatnya karna Denis, si pangeran berkuda putih itu.
Sebenarnya Denis hanyalah pria biasa, hanya saja cinta membuat Denis terlihat
tak biasa di mata Dinda. Mungkin Dinda melihat menggunakan mata hati. Mungkin.
Tak ada yang buruk dari mengenal
Denis. Hanya saja Denis terlalu untuk Dinda. Terlalu baik, terlalu tampan,
terlalu pintar.. Nyaris sempurna. Dulu, Dinda tidak suka pada Denis, bahkan
Dinda membencinya. Tapi sekarang? Ia menyukainya. Atau mencintainya. Mungkin.
“Din, kamu baik-baik saja?” Suara
itu. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga Dinda. Dan benar saja, ketika
Dinda melihat siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku? Aku baik-baik saja.” Jawab
Dinda. Sungguh dibalik kata baik-baik saja ada kata tidak dalam keadaan baik
yang tersembunyi. Perempuan. Bukankah itu salah satu keahliannya untuk menutupi
perasaan mereka yang sebenarnya?
Hujan Terakhir Bersamamu
Seperti biasa, Dinda duduk di
samping Gisha. Gisha dulunya adalah gadis yang Denis sukai. Gisha itu perempuan
yang cantik, pintar, dan pandai bergaul, hampir tak ada celah pada dirinya.
Tapi itu dulu, sampai Denis berkata kalau ia menyukai Dinda. Dinda mendengus geli
ketika otaknya memutar memori antara Dia, Gisha dan Denis.
Waktu itu, hujan sangat lebat. Dinda
dan Gisha menunggu hujan itu berhenti. Gisha sibuk mengamati hujan yang deras
itu, tetapi Dinda justru menikmatinya. Aroma hujan, Dinda selalu menyukai itu.
Rintikan hujan mengalun seperti sebuah musik di telinganya. Dinda menikmati itu
sampai dia tahu bahwa Denis memberikan jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar
cemburu hingga dia lepas kendali.
“Din maaf.. Aku nggak mau semua
berakhir sampai di sini?”
Dinda sempat bingung dengan isi
pesan singkat Denis. Kata-katanya sedikit sulit untuk dicerna oleh otaknya.
Bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkan kata-kata Denis. Tetapi akhirnya
Dinda menjawab
“Apa yang berakhir? Nggak ada yang
berakhir. Semuanya akan sama seperti dulu. Maaf, tadi aku memang lagi emosi.
Jangan berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust me.”
Tiba-tiba Dinda tersadar dari
lamunannya karena guru sudah memasuki kelas. Lagi-lagi matanya kembali
menangkap sosok Denis. Denis sibuk dengan perempuan itu. Target baru mungkin.
Dinda pura-pura tidak memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini demi mimpinya
juga kebahagiaannya.
Jam tambahanpun berakhir. Semua
anak-anak sibuk mengobrol sana-sini, membicarakan rencana mereka sepulang jam
tambahan. Dinda sedang fokus membereskan buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada
satupun barangnya yang tertinggal. Tapi tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak. Hanya ingin melihat kamu.
Dinda yang fokus benar-benar lain ya.”
Dinda mengangkat sudut bibirnya
ketika mendengar kata-kata Denis.
“Eh? Dinda tersenyum?”
Setelah mendengarnya, Dinda segera
merubah raut wajahnya. Dinda menyesali senyumannya tadi. Harusnya ia tidak
memberikan senyuman berharganya itu kepada Denis. Si pemberi harapan palsu.
“Dinda, ada yang mau aku bicarakan.
Kita keluar sebentar ya”
Dinda segera keluar bersama Denis
sebelum teman-temannya melihat. Ketika Denis mengajak Dinda untuk mengobrol di
tempat teduh, Dinda menolaknya. Dinda beralasan kalau saat ini hanya hujan.
Hujan air, dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu
menjauhiku. Kamu nggak pernah mengirimiku pesan singkat. Bahkan seperti kamu
membenciku. Aku salah apa sama kamu?” jawab Denis yang kembali bertanya.
“Semuanya sudah berakhir”
“Berakhir? Maksudmu? Apa yang
berakhir?”
“Kita.”
Beberapa menit kemudian Dinda
meralat kata-katanya
“Maksudku bukan kita. Tapi aku dan
kamu. Bukankah aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita?”
“Kamu ini bicara apa Dinda. Siapa yang
bilang kalau kamu dan aku tidak akan pernah menjadi kita?”
“Takdir. Takdir memang tak pernah
berkata tentang hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir tak pernah menunjukkan itu
Din” jawab Denis tegas.
“Tak pernah? Bagaimana dengan
kebudayaan kita? Bukankah itu cukup menunjukkan kalau kita tidak bisa bersama?
Kamu keras sedangkan aku lembut. Kamu api sedangkan aku air. Kita berbeda,
bahkan jika kita bersama maka kita akan menghancurkan satu sama lain.”
Hujan semakin deras. Sebanyak air
hujan itulah air mata Dinda yang ditahannya. Mungkin untuk terakhir kalinya,
Dinda ingin Denis mengingat senyumnya, bukan tangisnya.
“Kenapa kamu menginginkan ini
berakhir? Bukankah terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu
yang mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku? Aku tak pernah mengatakan
ingin mengakhiri semuanya.”
“Sekali lagi, mungkin lidahmu
terlalu kelu untuk mengatakan bahwa semua ini telah berakhir. Tetapi kamu
berhasil menunjukkan. Kamu menunjukkan tanda-tanda bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
“Din.. Dulu aku kan pernah bilang
kalau aku nggak mau —” ucapan Denis terpotong karna Dinda segera menjawab
“Itu dulu Sekarang, tanda-tandanya
sudah jelas bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
Hening. Denis tidak bisa menjawab
apa-apa lagi. Tak pernah terfikirkan oleh Denis kalau Dinda akan mengatakan
hal-hal seperti ini. Denis tak tahu apa yang membuat Dinda berubah seperti ini.
“Lagipula, kamu sekarang sudah punya
pacar, kan?” kata Dinda yang sepertinya ingin menyindir Denis.
“Pasti kamu bingung aku tahu dari
mana kalau kamu sudah punya pacar.” sambung Dinda sambil memaksakan senyum pada
wajahnya.
“Pastinya. Kamu ini jangan-jangan
penguntit aku ya.” Denis benar-benar tertawa lepas dengan jawabannya tadi.
Bahkan Dinda ikut terkekeh dengan jawaban Denis.
Tiba-tiba Dinda berhenti tertawa.
Dia memperhatikan Denis yang masih tertawa lepas. Mungkin ini terakhir kalinya
Dinda melihat Denis tertawa karnanya dan bersamanya. Dinda menatap wajah Denis
lekat-lekat. Ia mencoba mengingat setiap lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak
mengizinkannya untuk memiliki Denis, maka biarkanlah Dinda memiliki kenangan
tentang Denis. Tetapi Dinda tak ingin mengingat kenangan ini setiap saat.
Biarkanlah hujan menyimpan kenangan antara Dinda dan Denis.
Tanpa sadar Dinda menitihkan setetes
air matanya. Dia berbalik membelakangi Denis. Pundaknya bergetar hebat.
Tangisannya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Suara tangisnya pecah diantara
lebatnya hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia menatap punggung itu.
Punggung gadis yang dulu sempat menjadi tempat pertama saat sedih maupun
senang. Denis tahu betapa rapuhnya gadis ini.
Dinda segera menghapus air matanya.
Mengatur suaranya agar tak bergetar saat berbicara dengan Denis nantinya. Dinda
membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku saat melihat Denis. Denis membalas
senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu harus bagaimana atas sesuatu yang
telah berakhir. Yang terbesit di benaknya adalah betapa bodohnya dia. Dinda
juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada kenangan antara dia dan Denis,
tetapi pada saat hujan berhenti kenangan itu sedikit demi sedikit akan
menghilang.
Dinda beranjak dari duduknya. Begitu
juga dengan Denis.
“Sepertinya aku harus pulang.
Hujannya semakin deras. Dan kamu juga harus pulang.” kata Dinda.
“Aku harap setelah hujan ini akan
ada pelangi. Pelangi yang menghubungkan aku dengan pasanganku, dan kamu dengan
pasanganmu.” sambungnya.
Dinda pergi meninggalkan Denis lebih
dahulu. Dinda kini sadar bahwa tak selamanya pangeran baik untuknya. Dan hujan?
Terimakasih untuk hujan karena bersedia menjadi pengingat kenangan yang Dinda
miliki.
No comments:
Post a Comment